Dalam rentang waktu kurang lebih 5 tahun terakhir ini, telah banyak kasus bernuansa SARA terjadi di Indonesia. Kejadian-kejadian yang berpotensi SARA pada 5 tahun terakhir ini dimulai dari kasus pembakaran rumah terhadap 31 keluarga yang beraliran Ahmadiah di Lombok Barat oleh sekelompok warga pada Februari 2006, disusul dengan penyerangan terhadap kelompok Ahmadiah pada Desember 2007 di Jawa Barat dan Mei 2008 di Sukabumi.
Kasus lain yakni penyerangan terhadap iring-iringan jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Bekasi pada September 2010 dan pembakaran madrasah Al-Mahmud milik Ahmadiah yang dilakukan oleh sekelompok massa pada 27 Desember 2010. Tak hanya berakhir pada kasus tersebut.
Puncak dari kasus-kasus yang berpotensi menjadi konflik SARA (suku, agama, rasa, dan antar golongan) terjadi pada tanggal 6 Februari 2011 yang menewaskan tiga orang jemaah Ahmadiah dan tujuh orang lainnya luka-luka akibat penyerangan kediaman pimpinan Ahmadiah di kampung Peundeuy, Desa Umbulah, Kecamatan Cikeusik yang diserang oleh ribuan massa. Menyusul setelah penyerangan Ahmadiah, pada tanggal 7 Februari 2011 terjadi lagi pembakaran gereja di Temanggung yang menyebabkan sembilan orang luka-luka serta kerusakan tiga gereja.
Konflik telah banyak terjadi dalam 5 tahun terakhir ini, terutama konflik-konflik yang bernuansa SARA. Lantas apakah yang salah dengan sistem ketatanegaraan kita? Atau mungkin pemimpin kita kurang mampu dalam menangani gejolak-gejolak dalam masyarakat? Ataukah mungkinkah bangsa ini sudah tidak memiliki moral?
Masa Transisi Otoriter-Demokrasi
Pemerintahan otoriter Orde Baru yang menekan dan membelenggu masyarakat menimbulakn kejenuhan dalam benak. Kejenuhan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru telah memunculkan berbagai gerakan-gerakan politik masyarakat terutama kalangan mahasiswa. Gerakan-gerakan politik yang terus mendesak pemerintahan otoritarian Soeharto akhirnya berujung pada kejatuhan rezim Orba.
Kejatuhan rezim Orba merupakan starting point bagi NKRI dalam merubah haluan sistem pemerintahan dari Otoriter yang diterapkan Soeharto menjadi negara demokrasi. Demokrasi yang dimaksud bukan hanya mengadopsi sebagian prinsip demokrasi, melainkan demokrasi yang diidam-idamkan dan berusaha untuk diwujudkan adalah demokrasi yang terkonsolidasi.
Demokrasi yang terkonsolidasi merupakan demokrasi yang menyeluruh, setiap elemen-elemen negara menerapkan sistem demokrasi yang baik dalam mencapai kestabilan ketatanegaraan. Oleh karena itu, Indonesia saat ini belum dikatakan sebagai negara Demokrasi yang terkonsolidasi, melainkan masih menuju ke titik tersebut yang disebut dengan era transisi.
Hasil dari kejatuhan rezim otoriter adalah liberalisasi politik dimana setiap hak warga negara diperjuangkan. Perjuangan tersebut baru muncul setelah katup politik terhadap masyarakat terbuka, yang dulunya dalam masa otoriter masyarakat hanya penonton dalam perpolitikan, sekarang masyarakat telah menjadi salah satu inti dari perpolitikan suatu negara sehingga masyarakat bebas membuat kelompok dan bersuara depan pemerintah untuk menggunakan hak-hak yang dimiliki.
Partisi politik masyarakat ini akhirnya ngetren di kalangan masyarakat. Kebebasan yang telah terkungkung selama ini pada masa otoriter meledak dan menjadi suatu euphoria masyarakat atas kebebasannya. Euphoria sendiri didukung dengan keadaan negara yang lemah karena masih dalam penataan ulang pasca reformasi besar-besaran.
Pascareformasi 1998, masyarakat seolah-olah bebas dan merdeka untuk yang kedua kalinya setelah melawan penjajah. Masyrakat menjadi lebih berani dalam melancarkan aksi-aksinya dalam menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Termasuk melakukan protes-protes kepada pemerintah baik yang bersifat demonstrasi yang tertib maupu yang anarkis.
Bahkan juga mengungkit masalah-masalah pelanggaran-pelanggaran yang telah di perbuat pemerintah Orba, seakan-akan masyarakat meminta pertanggungjawaban pemerintah atas perlakuannya selama ini terhadap rakyat. seperti inilah keadaan masyarakat sekarang ini di masa transisi.
Konflik Horizontal
Indonesia dikenal sebagai negara “warna-warni”. Mulai dari suku, ras, agama, warna kulit, sampai pada lautan yang memisahkan antar individu. Semua itu bukanlah masalah bagi tegaknya negara ini, terbukti dari catatan sejarah yang telah dilukis oleh bangsa ini sebagai bangsa yang memiliki rasa toleransi yang tinggi dengan bersatunya seluruh elemen bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan. Namun, semua itu telah gugur pada jaman transisi menuju demokrasi yang terkonsolidasi.
Sebenarnya konflik horizontal telah banyak bermunculan sebelum kejatuhan Soeharto. Konflik tersebut muncul dikarenakan rasa kekecewaan masyarakat yang menggumpal pada pemerintah. Di lain sisi, masyarakat tak mampu menghadapi kekuatan pemerinta sehingga yang menjadi korban pelampiasan adalah golongan-golongan minoritas baik itu secara etnis maupun budaya.
Kasus konflik horizontal di era transisi sendiri berbeda dengan era pra jatuhnya Orba. Pemicu konflik horizontal yang terjadi akhir-akhir ini bukan hanya pada perbedaan kultur dan etnis, namun yang menjadi pemicu adalah perbedaan kepentingan, garis politik, serta cita-cita ideologis.
Perputaran Roda Keteraturan-Ketidakteraturan
Jaman berganti bagaikan roda yang berputar, kadang diatas kadang dibawah. Indonesia pada masa penjajahan merupakan jaman ketidakteraturan atau terbengkalainya kebangsaan Indonesia, kemerdekaan dan menjadi stabil dan teratur dengan berbagai macam sistem pemerintahan yang telah diterapkan.
Jaman ini adalah jaman pergantiaan atau era transisi yang harus dijalani dimana perubahan dengan berbalik 180° dari sistem Otoriter menjadi Demokrasi yang terkonsolidasi adalah suatu langkah yang berat sehingga membutuhkan banyak perubahan dan penyesuaian.
Dalam masa transisi, penempatan dan pengaturan elemen-elemen sosial kemasyarakatan masih belum jelas dan terinci yang menyebabkan setiap kelompok-kelompok social masih mencari tatanan hidup mereka dengan melakukan aksi-aksinya agar pemerintah bisa memberikan posisi yang tepat bagi kelompok-kelompok tersebut.
Biasanya konflik terjadi karena hal-hal yang sepele seperti ketersinggungan dan kesalah pahaman yang belakangan ini sangat sering terjadi. Oleh karena itu, wajarlah jika pada akhir-akhir ini di masa transisi ini terjadi banyak gejolak social dalam bentuk konflik horizontal dan semua negara mengalami gejala-gejala seperti ini saat dalam masa transisi.
Sesuai dengan penelitian Ted Robert Gur yang menyatakan bahwa meletupnya konflik horizontal terjadi di era transisi. Jadi tidaklah heran jika di negara kita akhir-akhir ini banyak terjadi konflik horizontal yang merupakan suatu proses dalam mencapai suatu kestabilan kembali sesuai dengan perputaran roda ketidakteraturan menuju keteraturan yang suatu saat penghujungnya akan mencapai kestabilan kembali.
Untuk mengarahkan jalannya masa transisi ini kearah yang benar, dibutuhkan juga peran pemerintah dalam masyarakat sebagai penetrasi atau penengah dalam resolusi konflik. Jadi berdasarkan ulasan diatas, masalah-masalah bernuansa SARA akhir-akhir ini bukanlah semata-mata karena ketidak seriusan pemerintah, melainkan kejadian-kejadian tersebut adalah suatu proses tercapainya keteraturan yang baru yakni demokrasi yang terkonsolidasi.
Dalam rentang waktu kurang lebih 5 tahun terakhir ini, telah banyak kasus bernuansa SARA terjadi di Indonesia. Kejadian-kejadian yang berpotensi SARA pada 5 tahun terakhir ini dimulai dari kasus pembakaran rumah terhadap 31 keluarga yang beraliran Ahmadiah di Lombok Barat oleh sekelompok warga pada Februari 2006, disusul dengan penyerangan terhadap kelompok Ahmadiah pada Desember 2007 di Jawa Barat dan Mei 2008 di Sukabumi.
Kasus lain yakni penyerangan terhadap iring-iringan jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Bekasi pada September 2010 dan pembakaran madrasah Al-Mahmud milik Ahmadiah yang dilakukan oleh sekelompok massa pada 27 Desember 2010. Tak hanya berakhir pada kasus tersebut.
Puncak dari kasus-kasus yang berpotensi menjadi konflik SARA (suku, agama, rasa, dan antar golongan) terjadi pada tanggal 6 Februari 2011 yang menewaskan tiga orang jemaah Ahmadiah dan tujuh orang lainnya luka-luka akibat penyerangan kediaman pimpinan Ahmadiah di kampung Peundeuy, Desa Umbulah, Kecamatan Cikeusik yang diserang oleh ribuan massa. Menyusul setelah penyerangan Ahmadiah, pada tanggal 7 Februari 2011 terjadi lagi pembakaran gereja di Temanggung yang menyebabkan sembilan orang luka-luka serta kerusakan tiga gereja.
Konflik telah banyak terjadi dalam 5 tahun terakhir ini, terutama konflik-konflik yang bernuansa SARA. Lantas apakah yang salah dengan sistem ketatanegaraan kita? Atau mungkin pemimpin kita kurang mampu dalam menangani gejolak-gejolak dalam masyarakat? Ataukah mungkinkah bangsa ini sudah tidak memiliki moral?
Masa Transisi Otoriter-Demokrasi
Pemerintahan otoriter Orde Baru yang menekan dan membelenggu masyarakat menimbulakn kejenuhan dalam benak. Kejenuhan masyarakat terhadap pemerintahan Orde Baru telah memunculkan berbagai gerakan-gerakan politik masyarakat terutama kalangan mahasiswa. Gerakan-gerakan politik yang terus mendesak pemerintahan otoritarian Soeharto akhirnya berujung pada kejatuhan rezim Orba.
Kejatuhan rezim Orba merupakan starting point bagi NKRI dalam merubah haluan sistem pemerintahan dari Otoriter yang diterapkan Soeharto menjadi negara demokrasi. Demokrasi yang dimaksud bukan hanya mengadopsi sebagian prinsip demokrasi, melainkan demokrasi yang diidam-idamkan dan berusaha untuk diwujudkan adalah demokrasi yang terkonsolidasi.
Demokrasi yang terkonsolidasi merupakan demokrasi yang menyeluruh, setiap elemen-elemen negara menerapkan sistem demokrasi yang baik dalam mencapai kestabilan ketatanegaraan. Oleh karena itu, Indonesia saat ini belum dikatakan sebagai negara Demokrasi yang terkonsolidasi, melainkan masih menuju ke titik tersebut yang disebut dengan era transisi.
Hasil dari kejatuhan rezim otoriter adalah liberalisasi politik dimana setiap hak warga negara diperjuangkan. Perjuangan tersebut baru muncul setelah katup politik terhadap masyarakat terbuka, yang dulunya dalam masa otoriter masyarakat hanya penonton dalam perpolitikan, sekarang masyarakat telah menjadi salah satu inti dari perpolitikan suatu negara sehingga masyarakat bebas membuat kelompok dan bersuara depan pemerintah untuk menggunakan hak-hak yang dimiliki.
Partisi politik masyarakat ini akhirnya ngetren di kalangan masyarakat. Kebebasan yang telah terkungkung selama ini pada masa otoriter meledak dan menjadi suatu euphoria masyarakat atas kebebasannya. Euphoria sendiri didukung dengan keadaan negara yang lemah karena masih dalam penataan ulang pasca reformasi besar-besaran.
Pasca reformasi 1998, mayarakat seolah-olah bebas dan merdeka untuk yang kedua kalinya setelah melawan penjajah. Masyrakat menjadi lebih berani dalam melancarkan aksi-aksinya dalam menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah. Termasuk melakukan protes-protes kepada pemerintah baik yang bersifat demonstrasi yang tertib maupu yang anarkis.
Bahkan juga mengungkit masalah-masalah pelanggaran-pelanggaran yang telah di perbuat pemerintah Orba, seakan-akan masyarakat meminta pertanggungjawaban pemerintah atas perlakuannya selama ini terhadap rakyat. seperti inilah keadaan masyarakat sekarang ini di masa transisi.
Konflik Horizontal
Indonesia dikenal sebagai negara “warna-warni”. Mulai dari suku, ras, agama, warna kulit, sampai pada lautan yang memisahkan antar individu. Semua itu bukanlah masalah bagi tegaknya negara ini, terbukti dari catatan sejarah yang telah dilukis oleh bangsa ini sebagai bangsa yang memiliki rasa toleransi yang tinggi dengan bersatunya seluruh elemen bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan. Namun, semua itu telah gugur pada jaman transisi menuju demokrasi yang terkonsolidasi.
Sebenarnya konflik horizontal telah banyak bermunculan sebelum kejatuhan Soeharto. Konflik tersebut muncul dikarenakan rasa kekecewaan masyarakat yang menggumpal pada pemerintah. Di lain sisi, masyarakat tak mampu menghadapi kekuatan pemerinta sehingga yang menjadi korban pelampiasan adalah golongan-golongan minoritas baik itu secara etnis maupun budaya.
Kasus konflik horizontal di era transisi sendiri berbeda dengan era pra jatuhnya Orba. Pemicu konflik horizontal yang terjadi akhir-akhir ini bukan hanya pada perbedaan kultur dan etnis, namun yang menjadi pemicu adalah perbedaan kepentingan, garis politik, serta cita-cita ideologis.
Perputaran Roda Keteraturan-Ketidakteraturan
Jaman berganti bagaikan roda yang berputar, kadang diatas kadang dibawah. Indonesia pada masa penjajahan merupakan jaman ketidakteraturan atau terbengkalainya kebangsaan Indonesia, kemerdekaan dan menjadi stabil dan teratur dengan berbagai macam sistem pemerintahan yang telah diterapkan.
Jaman ini adalah jaman pergantiaan atau era transisi yang harus dijalani dimana perubahan dengan berbalik 180° dari sistem Otoriter menjadi Demokrasi yang terkonsolidasi adalah suatu langkah yang berat sehingga membutuhkan banyak perubahan dan penyesuaian.
Dalam masa transisi, penempatan dan pengaturan elemen-elemen sosial kemasyarakatan masih belum jelas dan terinci yang menyebabkan setiap kelompok-kelompok social masih mencari tatanan hidup mereka dengan melakukan aksi-aksinya agar pemerintah bisa memberika posisi yang tepat bagi kelompok-kelompok tersebut.
Biasanya konflik terjadi karena hal-hal yang sepele seperti ketersinggungan dan kesalah pahaman yang belakangan ini sangat sering terjadi. Oleh karena itu, wajarlah jika pada akhir-akhir ini di masa transisi ini terjadi banyak gejolak social dalam bentuk konflik horizontal dan semua negara mengalami gejala-gejala seperti ini saat dalam masa transisi.
Sesuai dengan penelitian Ted Robert Gur yang menyatakan bahwa meletupnya konflik horizontal terjadi di era transisi. Jadi tidaklah heran jika di negara kita akhir-akhir ini banyak terjadi konflik horizontal yang merupakan suatu proses dalam mencapai suatu kestabilan kembali sesuai dengan perputaran roda ketidakteraturan menuju keteraturan yang suatu saat penghujungnya akan mencapai kestabilan kembali.
Untuk mengarahkan jalannya masa transisi ini kearah yang benar, dibutuhkan juga peran pemerintah dalam masyarakat sebagai penetrasi atau penengah dalam resolusi konflik. Jadi berdasarkan ulasan diatas, masalah-masalah bernuansa SARA akhir-akhir ini bukanlah semata-mata karena ketidak seriusan pemerintah, melainkan kejadian-kejadian tersebut adalah suatu proses tercapainya keteraturan yang baru yakni demokrasi yang terkonsolidasi.